Jakarta
(ANTARA) - Tenaga nonprofesional atau karyawan merupakan golongan yang
paling banyak terinfeksi HIV sepanjang tahun 2011
disusul oleh ibu rumah tangga dan wiraswasta, demikian menurut Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta.
Data surveilans hingga bulan Juni 2011, jumlah karyawan yang terinfeksi HIV sebanyak 283 orang (199 HIV dan 84 AIDS), ibu rumah tangga 147 orang (102 HIV dan 45 AIDS), wiraswasta 139 orang (82 HIV dan 57 AIDS), narapidana 48 orang (4 HIV dan 44 AIDS), buruh kasar 32 orang (14 HIV dan 18 AIDS) serta tenaga profesional non medis 29 orang (5 HIV dan 24 AIDS).
"Dari jumlah penderita HIV/AIDS, DKI Jakarta menempati urutan pertama tapi jika dihitung dari prevalensinya, maka DKI merupakan urutan keempat di Indonesia setelah Papua, Jawa Barat dan Bali," ujar Sekretaris KPAP DKI Rohana Manggala di Jakarta, Kamis.
AIDS merupakan penyakit yang paling ditakuti pada saat ini. HIV, virus yang menyebabkan penyakit ini, merusak sistem pertahanan tubuh (sistem imun), sehingga orang-orang yang menderita penyakit ini kemampuan untuk mempertahankan dirinya dari serangan penyakit menjadi berkurang. Seseorang yang positif mengidap HIV, belum tentu mengidap AIDS.
Tingginya angka terinfeksi pada golongan profesi karyawan itu telah membuat peringatan Hari AIDS sedunia 2011 yang diperingati tiap tanggal 1 Desember mengambil tema "Lindungi Pekerja dan dunia Usaha dari HIV dan AIDS".
Ketua Pelaksana Peringatan Hari AIDS Sedunia di Jakarta Deded Sukandar yang juga merupakan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta menyebut pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja sangat penting untuk mencegah terjadinya dampak yang sangat merugikan baik bagi perusahaan maupun tenaga kerja.
"Tempat kerja sebagai tempat berkumpulnya orang-orang muda yang produktif merupakan tempat yang sangat strategis untuk melaksanakan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS," kata Deded.
Hal itu karena dampak yang ditimbulkan karena HIV/AIDS sangat luas, tidak hanya pada orang yang terkena tetapi juga berdampak pada kondisi sosial, ekonomi dan psikologis bagi keluarga penderita dan juga pada masyarakat sekitar.
"Mengingat dari data yang ada bahwa 88 persen orang dengan HIV/AIDS berada pada kelompok usia produktif atau berumur 20-49 tahun maka HIV dan AIDS bisa menjadi ancaman bagi dunia usaha, apabila tidak dilakukan upaya pencegahan dan penanggulangan secara tepat," ujarnya.
Beberapa dampak yang dapat langsung dirasakan karena HIV/AIDS di dunia kerja antara lain meningkatnya absen karena sakit, tingginya angka pergantian pekerja, berkurangnya pekerja yang terampil dan berpengalaman, munculnya konflik ditempat kerja yang menurunkan moral pekerja, timbul stigma dan diskriminasi terhadap pekerja dengan HIV/AIDS serta meningkatnya biaya perawatan kesehatan atau pengobatan dan lain-lain.
Untuk pencegahan, Deded menyebut dibutuhkan kerjasama tripartit dari pemerintah, dunia usaha serta serikat pekerja untuk melakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan.
Penyebab penularan, seperti dipaparkan oleh Rohana Manggala adalah sebagian besar berasal dari pria yang membeli seks yang disebut sebagai kelompok resiko tinggi yang jumlahnya diperkirakan mencapai satu juta pria di Jakarta.
Dua puluh persen dari mereka adalah pria dewasa yang kemudian memiliki pasangan, selain itu ada sekitar 11 ribu pengguna jarum suntik (penasun) dan 61 ribu dari kelompok Gay, Waria, dan Lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki.
"Karena itu, kami minta masyarakat tetap menerapkan rumus ABCD, yakni `Abstinence` yang berarti menghindari perilaku beresiko, `Be Faithful` atau setia, menggunakan `Condom` untuk perilaku beresiko dan sebagai langkah terakhir adalah Drugs atau pengobatan jika telah positif HIV," ujarnya.
Ketua Kelompok Kerja HIV RSUD Tarakan Ekarini Aryasatiani mengakui bahwa kasus HIV/AIDS yang ditemukan saat ini merupakan fenomena gunung es, dimana diyakini jumlah penderita sebenarnya jauh lebih besar namun adanya stigma negatif di masyarakat membuat para penderita tersebut enggan mencari bantuan pengobatan.
RSUD Tarakan disebut Ekarini tiap harinya menerima lima kasus baru HIV/AIDS dan melaksanakan tes sukarela HIV (VCT= Voluntary Counseling and Test) sebanyak 5-10 orang perharinya serta melakukan tes atas anjuran tenaga kesehatan (PITC= Provider Initiative Testing and Counseling) sekitar 25 orang perhari.
"Kami menangani 500-700 kasus perbulannya, sekitar 20 persen merupakan kasus tuberkulosis dari PPTI (Perkumpulan Pemberantasan Tuberculosis Indonesia), 20 persen merupakan rujukan dari rumah sakit lain dan 60 persen kasus dari Tarakan sendiri," papar Ekarini.
disusul oleh ibu rumah tangga dan wiraswasta, demikian menurut Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta.
Data surveilans hingga bulan Juni 2011, jumlah karyawan yang terinfeksi HIV sebanyak 283 orang (199 HIV dan 84 AIDS), ibu rumah tangga 147 orang (102 HIV dan 45 AIDS), wiraswasta 139 orang (82 HIV dan 57 AIDS), narapidana 48 orang (4 HIV dan 44 AIDS), buruh kasar 32 orang (14 HIV dan 18 AIDS) serta tenaga profesional non medis 29 orang (5 HIV dan 24 AIDS).
"Dari jumlah penderita HIV/AIDS, DKI Jakarta menempati urutan pertama tapi jika dihitung dari prevalensinya, maka DKI merupakan urutan keempat di Indonesia setelah Papua, Jawa Barat dan Bali," ujar Sekretaris KPAP DKI Rohana Manggala di Jakarta, Kamis.
AIDS merupakan penyakit yang paling ditakuti pada saat ini. HIV, virus yang menyebabkan penyakit ini, merusak sistem pertahanan tubuh (sistem imun), sehingga orang-orang yang menderita penyakit ini kemampuan untuk mempertahankan dirinya dari serangan penyakit menjadi berkurang. Seseorang yang positif mengidap HIV, belum tentu mengidap AIDS.
Tingginya angka terinfeksi pada golongan profesi karyawan itu telah membuat peringatan Hari AIDS sedunia 2011 yang diperingati tiap tanggal 1 Desember mengambil tema "Lindungi Pekerja dan dunia Usaha dari HIV dan AIDS".
Ketua Pelaksana Peringatan Hari AIDS Sedunia di Jakarta Deded Sukandar yang juga merupakan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta menyebut pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja sangat penting untuk mencegah terjadinya dampak yang sangat merugikan baik bagi perusahaan maupun tenaga kerja.
"Tempat kerja sebagai tempat berkumpulnya orang-orang muda yang produktif merupakan tempat yang sangat strategis untuk melaksanakan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS," kata Deded.
Hal itu karena dampak yang ditimbulkan karena HIV/AIDS sangat luas, tidak hanya pada orang yang terkena tetapi juga berdampak pada kondisi sosial, ekonomi dan psikologis bagi keluarga penderita dan juga pada masyarakat sekitar.
"Mengingat dari data yang ada bahwa 88 persen orang dengan HIV/AIDS berada pada kelompok usia produktif atau berumur 20-49 tahun maka HIV dan AIDS bisa menjadi ancaman bagi dunia usaha, apabila tidak dilakukan upaya pencegahan dan penanggulangan secara tepat," ujarnya.
Beberapa dampak yang dapat langsung dirasakan karena HIV/AIDS di dunia kerja antara lain meningkatnya absen karena sakit, tingginya angka pergantian pekerja, berkurangnya pekerja yang terampil dan berpengalaman, munculnya konflik ditempat kerja yang menurunkan moral pekerja, timbul stigma dan diskriminasi terhadap pekerja dengan HIV/AIDS serta meningkatnya biaya perawatan kesehatan atau pengobatan dan lain-lain.
Untuk pencegahan, Deded menyebut dibutuhkan kerjasama tripartit dari pemerintah, dunia usaha serta serikat pekerja untuk melakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan.
Penyebab penularan, seperti dipaparkan oleh Rohana Manggala adalah sebagian besar berasal dari pria yang membeli seks yang disebut sebagai kelompok resiko tinggi yang jumlahnya diperkirakan mencapai satu juta pria di Jakarta.
Dua puluh persen dari mereka adalah pria dewasa yang kemudian memiliki pasangan, selain itu ada sekitar 11 ribu pengguna jarum suntik (penasun) dan 61 ribu dari kelompok Gay, Waria, dan Lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki.
"Karena itu, kami minta masyarakat tetap menerapkan rumus ABCD, yakni `Abstinence` yang berarti menghindari perilaku beresiko, `Be Faithful` atau setia, menggunakan `Condom` untuk perilaku beresiko dan sebagai langkah terakhir adalah Drugs atau pengobatan jika telah positif HIV," ujarnya.
Ketua Kelompok Kerja HIV RSUD Tarakan Ekarini Aryasatiani mengakui bahwa kasus HIV/AIDS yang ditemukan saat ini merupakan fenomena gunung es, dimana diyakini jumlah penderita sebenarnya jauh lebih besar namun adanya stigma negatif di masyarakat membuat para penderita tersebut enggan mencari bantuan pengobatan.
RSUD Tarakan disebut Ekarini tiap harinya menerima lima kasus baru HIV/AIDS dan melaksanakan tes sukarela HIV (VCT= Voluntary Counseling and Test) sebanyak 5-10 orang perharinya serta melakukan tes atas anjuran tenaga kesehatan (PITC= Provider Initiative Testing and Counseling) sekitar 25 orang perhari.
"Kami menangani 500-700 kasus perbulannya, sekitar 20 persen merupakan kasus tuberkulosis dari PPTI (Perkumpulan Pemberantasan Tuberculosis Indonesia), 20 persen merupakan rujukan dari rumah sakit lain dan 60 persen kasus dari Tarakan sendiri," papar Ekarini.