Jumat, 09 November 2012

Kebudayaan Kalimantan Barat



Peta Provinsi Kalimantan Barat

Kesenian Daerah Kalimantan Barat Tari Zapin Tembung
Pakaian Adat Kalimantan Barat
Pakaian adat Dayak
Laki-laki Sapei Sapaq dan wanitanya Ta a  

Tarian dari Kalimantan Barat
Tari Monong





Senjata Dari Kalimantan Barat Mandau

Rumah adat Kalimantan Barat  Rumah Panjang






Alat Musik Dari Kalimantan Barat Sampek








Lagu Daerah Dari Daerah Kalimantan Barat
Masjid Jami’

Masjid Jami’
Sunggoh cantek bentok rupenye
Mesjed Jami sebrang adenye
Awal mule adenye kote
Pontianak die punye name

Barang siape ke Pontianak
Jangan lupakan keraton raje
Kalo' tidak pegi ke sanak
Belomlah sampai dalam kotenye
Peninggalan di jaman dolo'
Mesjed Jami dan keratonnye
Sultan Abdurrahman pendirinye
Di jaman penjajahan Belande
Itu bukti secare nyate
Boleh bangge kite semue 

 
Cerita Rakyat dari Kalimantan Barat “Batu Menangis”

Bagaikan bulan yang elok, tubuh laksana pualam, rumput terurai seperti mayang… itulah umpama yang pantas untuk gadis cantik yang tinggal bersama ibunya yang sederhana di sebuah desa terpencil itu. Semua orang akan mengakuinya saat memandang gadis itu. Tak henti-hentinya ia merias dirinya. Cermin di dinding rumahnya tak jemu meski gadis nan elok itu terus memandanginya. Namun mereka terbius kecantikan itulah si gadis ini jadi angkuh dan malas. Ia tak sadar bahwa keelokan yang dikaruniakan Tuhan itu adalah berkah yang harus disyukuri dengan kerendahan hati.
Ibu gadis ini adalah ibu yang lembut, baik hati dan bijak. Ia dengan sabar menemani gadis ini. Ia hanya berharap suatu ketika anak gadisnya menyadari betapa keelokan parasnya tak ada guna apabila hatinya angkuh. Makin sedih juga sang ibu melihat anaknya yang cantik itu juga pemalas, dan kemauannya harus selalu dituruti meskipun kadang tidak masuk akal. Tetapi sang ibu terus berusaha menuruti apa yang dikehendaki anak gadisnya itu. Di dalam harinya ia berdoa, semoga Tuhan menolong dia menyadarkan anak gadisnya itu. Ibu itu tak punya daya untuk mengubahnya.
Suatu hari, seperti biasa gadis itu mengurung dirinya di dalam kamarnya. Ia tak mau matahari merusak kulitnya. Ia enggan debu-debu mengotori wajahnya. Ia tak suka orang-orang mencuri kemolekannya.
“Ibu…!”
Gadis itu memanggil ibunya dengan suara keras.
Sang ibu tergopoh menghampiri putrinya.
“Bukankah sudah berulang kali aku bilang bahwa setiap aku bangun ibu harus sudah menata kamar ini hingga rapi, menyediakan lulur dan air hangat, dan membuatkan minuman sari buah untukku…?” katanya keras dan marah.
Ibunya berusaha sabar, “Bukankah kamu sudah dewasa, anakku. Kau bisa mengerjakan sendiri semua itu.”
“Ibu tahu sendiri, aku sedang sibuk,” jawab gadis itu.
Sang ibu hanya mengelus dada. Hatinya gelisah. Kesibukan mempercantik diri, hanya itulah yang selalu dilakukan putrinya yang pemalas itu.
Suatu hari, sang ibu mencoba untuk membujuk anaknya agar mulai mengubah tabiat buruknya.
“Ibu sudah tua, dan jika ibu dipanggil oleh Tuhan maka Ibu tak khawatir lagi engkau bisa mengurusi dirimu sendiri,” kata ibunya.
“Aku tidak minta kamu jadi ibuku,” ketus sang gadis.
Ibu sungguh sedih mendengarnya.
“Baiklah, Anakku. Ibu hanya memohon agar kamu tidak mengurung diri di rumah. Kenalilah lingkunganmu agar ibu tenang jika suatu saat dipanggil Tuhan,” ujar itu dengan penuh kesabaran.
Hari makin berlalu. Akhirnya sang gadis mau menuruti kehendak ibunya. Ia tidak keberatan untuk ke mana pun bersama ibunya. Ke kepta, ke toko, ke rumah kerabat bahkan hingga belanja ke pasar. Tapi anaknya ini mengajukan syarat bahwa ibunya tak diperbolehkan mengakui di depan umum bahwa ia ibunya. Sebagai seorang ibu tentulah hatinya teriris mendengar itu.
“Oh Tuhan, mengapa untuk mengakui aku ibunya saja dia demikian malu? Mengapa anakku seangkuh itu, ya Tuhan…”
Orang-orang benar-benar tak percaya kedua perempuan itu adalah ibu dan anaknya. Penampilan keduanya alangkah berlawanan. Si putrid begitu mewah, sementara sang ibu teramat bersahaja. Bahkan sang ibu yang tua dengan pakaian yang kusam itu bagaikan seorang pembantu saja layaknya. Apalagi sang putri tak pernah mengizinkan berada di dekatnya. Jika berjalan, sang ibu harus berada di belakangnya.
“Apakah mungkin dia ibunya?”
“Ah mungkin saja bukan?”
“Tapi…”
Orang-orang berbisik-bisik mempergunjingkan hal itu setiap bebrtemu keduanya.
“Bukan! Dia budakku,” kata gadis itu.
Alangkah terlukanya sang ibu mendengar itu. Hatinya menangis dan ia benar-benar tak berdaya menahan sakit hatinya. Ia berbisik dan memohon kepada Tuhan.
“dengan cara apa Engkau menghukum anak yang sombong dan berhati busuk seperti ini ya Tuhan? Jika dia anak kecil, hambamu pasti mampu memahaminya. Tapi ia sudah dewasa dan memiliki akal. Sungguh hamba tidak bis amengerti,” rintihnya.
Tuhan selalu mendengar jeritan hati hambanya. Apapun yang dikehendaki Tuhan pastilah suatu kebaikan. Maka ketika ia menghukum gadis yang sombong itu, maka Tuhan pasti berkehendak baik untuk umatnya.
Suatu haru gadis itu tiba-tiba berubah menjadi batu karena hatinya yang congkak dank eras. Gadis itu menyadari kesalahannya, tapi terlambat karena hukuman telah menimpanya. Ia pun hanya bisa menangis. Hingga sekarang, batu itu dikenal sebagai “Batu Menangis”.