Peta
Provinsi Kalimantan Barat
Kesenian Daerah
Kalimantan Barat Tari Zapin Tembung
Pakaian Adat Kalimantan Barat
Pakaian adat Dayak
Laki-laki Sapei Sapaq dan wanitanya Ta a
Tarian dari Kalimantan Barat
Tari Monong
Senjata Dari Kalimantan
Barat Mandau
Rumah adat Kalimantan
Barat Rumah Panjang
Alat Musik Dari Kalimantan Barat Sampek
Lagu Daerah Dari Daerah Kalimantan Barat
Masjid Jami’
Masjid
Jami’
Sunggoh
cantek bentok rupenye
Mesjed Jami sebrang adenye
Awal mule adenye kote
Pontianak die punye name
Mesjed Jami sebrang adenye
Awal mule adenye kote
Pontianak die punye name
Barang
siape ke Pontianak
Jangan lupakan keraton raje
Kalo' tidak pegi ke sanak
Belomlah sampai dalam kotenye
Jangan lupakan keraton raje
Kalo' tidak pegi ke sanak
Belomlah sampai dalam kotenye
Peninggalan di jaman dolo'
Mesjed Jami dan keratonnye
Sultan Abdurrahman pendirinye
Di jaman penjajahan Belande
Itu bukti secare nyate
Boleh bangge kite semue
Mesjed Jami dan keratonnye
Sultan Abdurrahman pendirinye
Di jaman penjajahan Belande
Itu bukti secare nyate
Boleh bangge kite semue
Cerita
Rakyat dari Kalimantan Barat “Batu Menangis”
Bagaikan bulan yang elok, tubuh
laksana pualam, rumput terurai seperti mayang… itulah umpama yang pantas untuk
gadis cantik yang tinggal bersama ibunya yang sederhana di sebuah desa
terpencil itu. Semua orang akan mengakuinya saat memandang gadis itu. Tak
henti-hentinya ia merias dirinya. Cermin di dinding rumahnya tak jemu meski
gadis nan elok itu terus memandanginya. Namun mereka terbius kecantikan itulah
si gadis ini jadi angkuh dan malas. Ia tak sadar bahwa keelokan yang
dikaruniakan Tuhan itu adalah berkah yang harus disyukuri dengan kerendahan
hati.
Ibu gadis ini adalah ibu yang
lembut, baik hati dan bijak. Ia dengan sabar menemani gadis ini. Ia hanya
berharap suatu ketika anak gadisnya menyadari betapa keelokan parasnya tak ada
guna apabila hatinya angkuh. Makin sedih juga sang ibu melihat anaknya yang
cantik itu juga pemalas, dan kemauannya harus selalu dituruti meskipun kadang
tidak masuk akal. Tetapi sang ibu terus berusaha menuruti apa yang dikehendaki
anak gadisnya itu. Di dalam harinya ia berdoa, semoga Tuhan menolong dia
menyadarkan anak gadisnya itu. Ibu itu tak punya daya untuk mengubahnya.
Suatu hari, seperti biasa gadis itu
mengurung dirinya di dalam kamarnya. Ia tak mau matahari merusak kulitnya. Ia
enggan debu-debu mengotori wajahnya. Ia tak suka orang-orang mencuri
kemolekannya.
“Ibu…!”
Gadis itu memanggil ibunya dengan
suara keras.
Sang ibu tergopoh menghampiri
putrinya.
“Bukankah sudah berulang kali aku
bilang bahwa setiap aku bangun ibu harus sudah menata kamar ini hingga rapi,
menyediakan lulur dan air hangat, dan membuatkan minuman sari buah untukku…?”
katanya keras dan marah.
Ibunya berusaha sabar, “Bukankah
kamu sudah dewasa, anakku. Kau bisa mengerjakan sendiri semua itu.”
“Ibu tahu sendiri, aku sedang
sibuk,” jawab gadis itu.
Sang ibu hanya mengelus dada.
Hatinya gelisah. Kesibukan mempercantik diri, hanya itulah yang selalu
dilakukan putrinya yang pemalas itu.
Suatu hari, sang ibu mencoba untuk
membujuk anaknya agar mulai mengubah tabiat buruknya.
“Ibu sudah tua, dan jika ibu
dipanggil oleh Tuhan maka Ibu tak khawatir lagi engkau bisa mengurusi dirimu
sendiri,” kata ibunya.
“Aku tidak minta kamu jadi ibuku,”
ketus sang gadis.
Ibu sungguh sedih mendengarnya.
“Baiklah, Anakku. Ibu hanya memohon
agar kamu tidak mengurung diri di rumah. Kenalilah lingkunganmu agar ibu tenang
jika suatu saat dipanggil Tuhan,” ujar itu dengan penuh kesabaran.
Hari makin berlalu. Akhirnya sang
gadis mau menuruti kehendak ibunya. Ia tidak keberatan untuk ke mana pun
bersama ibunya. Ke kepta, ke toko, ke rumah kerabat bahkan hingga belanja ke
pasar. Tapi anaknya ini mengajukan syarat bahwa ibunya tak diperbolehkan
mengakui di depan umum bahwa ia ibunya. Sebagai seorang ibu tentulah hatinya
teriris mendengar itu.
“Oh Tuhan, mengapa untuk mengakui
aku ibunya saja dia demikian malu? Mengapa anakku seangkuh itu, ya Tuhan…”
Orang-orang benar-benar tak percaya
kedua perempuan itu adalah ibu dan anaknya. Penampilan keduanya alangkah
berlawanan. Si putrid begitu mewah, sementara sang ibu teramat bersahaja.
Bahkan sang ibu yang tua dengan pakaian yang kusam itu bagaikan seorang
pembantu saja layaknya. Apalagi sang putri tak pernah mengizinkan berada di
dekatnya. Jika berjalan, sang ibu harus berada di belakangnya.
“Apakah mungkin dia ibunya?”
“Ah mungkin saja bukan?”
“Tapi…”
Orang-orang berbisik-bisik
mempergunjingkan hal itu setiap bebrtemu keduanya.
“Bukan! Dia budakku,” kata gadis
itu.
Alangkah terlukanya sang ibu
mendengar itu. Hatinya menangis dan ia benar-benar tak berdaya menahan sakit
hatinya. Ia berbisik dan memohon kepada Tuhan.
“dengan cara apa Engkau menghukum
anak yang sombong dan berhati busuk seperti ini ya Tuhan? Jika dia anak kecil,
hambamu pasti mampu memahaminya. Tapi ia sudah dewasa dan memiliki akal. Sungguh
hamba tidak bis amengerti,” rintihnya.
Tuhan selalu mendengar jeritan hati
hambanya. Apapun yang dikehendaki Tuhan pastilah suatu kebaikan. Maka ketika ia
menghukum gadis yang sombong itu, maka Tuhan pasti berkehendak baik untuk
umatnya.
Suatu haru gadis itu tiba-tiba
berubah menjadi batu karena hatinya yang congkak dank eras. Gadis itu menyadari
kesalahannya, tapi terlambat karena hukuman telah menimpanya. Ia pun hanya bisa
menangis. Hingga sekarang, batu itu dikenal sebagai “Batu Menangis”.